Pahlawan saya hari ini

Merah putih dipancang di halaman-halaman rumah dan kantor di Town Site, juga rumah-rumah penduduk di kawasan F Sorowako pagi-pagi jam 06.45 wita ketika M dan saya dalam perjalanan menuju Plan Site. Saya baru sadar hari ini hari pahlawan. Selintasan aku jadi teringat secarik bendera merah putih “obar-abir” alias tercabik-cabik dan lusuh yang kulihat bersama ST di halaman dojo tae kwon do di Pontada. Sudah sempat diganti apa belum ya?

Tiba di Plan Site, seperti biasa penumpang harus turun ketika mobil di cek, dan saya harus berjalan melewati lorong penumpang sebelum menunggu di ujung gerbang. Kami menuju kantor EHS (Environment, Health and Safety) untuk bertemu teknisi yang akan melakukan water sampling pagi ini. Rencananya, kami akan menggarap iklan bergambar mengenai aktifitas water sampling di lingkup PTI untuk ditampilkan di harian Fajar, salah satu koran harian terbesar di Sulawesi Selatan.

Teknisi yang betugas hari ini adalah Pak Kaimuddin, lelaki Sumbawa yang telah bekerja di PTI selama 31 tahun sejak awal tahun 1976. Ia kini berusia 50 tahun, namun wajahnya masih terlihat segar dan gerak-geriknya masih cekatan. Setelah mempersiapkan sejumlah peralatan, kami mengendarai Isuzu D-Max 4 WD menuju stasiun geometerologi yang terletak di perbukitan, sekitar satu kilometer dari Plant Site. Peralatan pemantau cuaca di tempat ini cukup canggih dan lengkap. Menurut Pak Kai, peralatan-peralatan yang masih dijalankan secara manual sudah ada sejak akhir 80-an, sedangkan peralatan digital baru ditambahkan tahun lalu.

Salah satu perangkat yang memikat perhatian saya adalah bola kaca yang dipakai untuk mengukur durasi matahari bersinar dalam sehari.  Dipasangkan pada dudukan besi serupa busur, bola kaca berdiameter sekitar 10 centimeter ini memusatkan sinar matahari menjadi titik api yang membakar kertas dengan ukuran kurang lebih 2 x 15 cm yang diselipkan di bagian bawahnya. Kertas yang bertanda garis-garis bernomor untuk menandai setiap angka waktu ini dipasang sejajar arah gerak matahari. Nah, dari kertas yang terbakar memanjang pada bagian tengahnya itu lama matahari bersinar dalam hari pengambilan sampel bisa diketahui.

Menurut Pak Kai, sembari sibuk membersihkan tabung pada alat penghitung curah hujan, hasil penghitungan stasiun meteorologi PTI selalu dikirimkan ke Badan Metrologi dan Geofisika (BMG) propinsi di Makassar.  Sayangnya, dua anggota (sebutan umum untuk staf di bawah koordinasi si penutur) terhitung kurang rajin merawat dan menyetel peralatan di lokasi ini sehingga selain air di bak bundar pengukuran tingkat penguapan air telah kotor dan berkurang ketinggian airnya, setelan perangkat digital pengukur suhu, kelembaban, ketinggian dan informasi lainnya jarang dicek ketepatannya.  Satu tindakan fatal untuk informasi yang dijadikan referensi.

Selesai dengan stasiun metrologi, jujugan kami berikutnya adalah Lamangka, biasa disingkat LMK, stasiun pengecekan air yang terletak di tengah lebat hutan lindung yang kerap jadi sasaran pembalakan liar alias illegal logging. Menurut Pak Kai, panggilan akrab Kaimuddin, lokasi ini berjarak sekitar 8 kilometer dari Plan Site dan hanya sekitar 2 kilometer dari Danau Mahalona yang masih dipenuhi buaya.

Beberapa waktu lalu, ketika illegal logging masih marak, ia kerap menemui pelakunya tengah menghela potongan-potongan kayu besar dengan bantuan kerbau. Orang-orang ini lari berserabutan setiap kali bertemu dengan mobil Pak Kai, mungkin jeri dikira diuber polisi hutan.  Padahal, aku pak Kai, ia juga tak kalah takut kalau para penebang kayu itu mengalami kecelakaan karena ketika lintang pukang melarikan diri. BIsa-bisa saya yang dituduh menyebabkan kecelakaan dan diserang oleh mereka, ujarnya. Padahal kerapkali para penebang liar ini berbekal senjata tajam aneka rupa.

Untuk mencari aman, Pak Kai kemudian berupaya memanggil mereka dan bilang bahwa ia teman. Ia tidak akan melarang mereka menebang kayu asalkan jika terdapat batang-batang yang jatuh melintang jalan mereka mau menyingkirkannya. Suatu saat, “pertemanan” itu bermanfaat juga ketika roda mobil Pak Kai terperosok lubang, para penebang liar dan sejumlah kerbau membantunya menarik mobil hingga terbebas dari lubang.

Mendekati LMK (dua kilo lagi, katanya), ia menerangkan frekuensi water sampling bervariasi antar tempat. Untuk LC 3, pos pengetesan air di samping kali kecil yang menjadi outlet sejumlah pond di lokasi penambangan dan Process Plant, water sampling dilakukan satu kali sehari. Sedangkan berapa tempat lain seperti LMK, Fiona Dam, dan sejumlah pond dilakukan satu minggu sekali. Air Danau Matano pun tak luput dari pengecekan yang dilakukan tiga bulan sekali.

Sebentar saja kami di LMK, hanya untuk mengambil sampel air dan pemotretan. Lokasi berikutnya LC 3 di dekat Rumah Sakit Sorowako. Lokasi ini paling berdekatan dengan Process Plant yang diasumsikan memiliki potensi cemaran tinggi sehingga paling sering diambil sampel airnya, yakni sehari sekali. Di LC 3, pos pengecekana sudah dilengkapi peralatan penyedot air yang secara otomatis memompa air setiap jam sekali dan memasukkannya ke dalam tabung-tabung kaca yang terdapat di dalam bejana besi. Peralatan ini ditempatkan di sebuah pondok kecil dari kayu dan dikelilingi pagar besi.

Seusai LC 3, kami mampir laboratorium rumah sakit untuk menguji kandungan sampel air yang kami peroleh hari ini. Lab yang tampak luarnya sederhana ini ternyata dipenuhi peralatan digital canggih yang sebagian besar bermerk Hewllet Packard! Di sini kami bersua dengan Ern dan teman-temannya yang antusias ketika Pak Kai mengangsurkan tabung-tabung serupa dinamit atau tabung sonar yang katanya dipergunakan untuk memancing awan saat pembuatan hujan buatan. Mereka memang memesan dari EHS untuk diteliti kandungannya, karena kabarnya tabung-tabung itu didatangkan dari luar negeri entah mana. Mereka makin antusias ketika tahu akan dijadikan obyek pemotretan yang akan digunakan untuk iklan di koran Fajar.

Tak terasa empat jam sudah berlalu ketika kami akhirnya  berpisah dengan Pak Kai di halaman EHS. Sebelum kembali ke Town Site untuk sholat Jum’at, kami sempat mampir di Pasar Magani untuk sarapan (telat) coto Makassar yang menurut M, orang Bugis asli, rasanya biasa-biasa saja. Tapi toh, karena jarangnya warung makan yang menyajikan makanan enak di Sorowako ia terlihat lahap menyantap semangkuk coto dan sebotol teh botol.

Sisa hari saya manfaatkan untuk me-lay out iklan bergambar yang menampilkan Pak Kai dari arah samping bawah, dengan posturnya yang terlihat gagah tengah mengempit peralatan lengkap untuk water sampling. Foto ini diambil ketika pengecekan di LMK. Saya tambahkan juga jajaran tiga foto kecil yang menggambarkan proses pengecekan air termasuk ketika sampel air diperiksa di laboratorium. Iklan kali ini konsepnya clean dengan sedikit teks, termasuk tag line yang berbunyi “21 tahun ia mengujinya. Hasilnya: negatif!”

Meski lupa dengan hari pahlawan kali ini, saya rasa hari yang baru lalu saya lewatkan dengan seorang “pahlawan” juga: AM Kaimuddin namanya. Nah, siapakah pahlawan Anda hari ini? Salam.

Leave a comment