Ir. Roy, Internet dan Pendidikan Demokratis

Dari sekian banyak kesenjangan global yang paling kentara pada dekade ini, ketimpangan penguasaan teknologi dan informasi adalah salah satunya. Kemiskinan seringkali kemudian dituding sebagai biang utamanya. Keterbatasan finansial  diinterpretasikan berbanding lurus dengan keterbatasan akses pada teknologi dan informasi, yang pada gilirannya memapas kesempatan kelompok miskin untuk memperbaiki kondisi kehidupannya. Pada sisi lain, ketimpangan semacam itu memunculkan sosok-sosok yang layak disebut martir dalam upayanya menyeimbangkan dan memperluas kesempatan menguasai teknologi dan informasi.

Salah seorang martir tersebut bernama Ir. Roy Budhianto Handoko, seorang pengusaha dari Salatiga, Jawa Tengah. Berkat uluran tangannya, mulai bulan Desember 2003 puluhan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Salatiga dan sekitarnya terhubung ke internet 24 jam sehari melalui program Jaringan Pendidikan. “Saya merintisnya melalui dukungan Yayasan Widya Krama, institusi pemerintah yang memberikan penghargaan berupa dana untuk suatu wilayah memajukan pendidikan,” kata Roy, pria tinggi besar yang lahir di Salatiga 51 tahun yang lalu.

“Kenapa internet? Saya melihat perangkat ini sebenarnya sangat potensial untuk mengembangkan pendidikan secara demokratis,” kata Roy. Lewat internet, menurut idealisasi Roy, pintu informasi akan terpentang lebar-lebar dan bisa dimasuki siapa saja. “Selain sumber pengetahuan yang luar biasa, internet juga bisa dimanfaatkan untuk menjembatani kesenjangan antar sekolah,“ tambahnya. Untuk mendukung jaringan itu, setiap sekolah diberi satu komputer yang dimanfaatkan untuk server internet dan pelatihan untuk membekali para guru dalam memanfaatkan internet secara optimal. Jaringan pendidikan juga mengembangkan website http://www.pendidikansalatiga.net sebagai ruang interaksi virtual antar sekolah.

Langkah lanjut dari jaringan pendidikan juga sudah digagasnya. Roy mengungkap pemikiran mengenai perlunya dikembangkan Indonesia Internet Exchange (IIX) yang memungkinkan tersedianya jaringan intranet lokal. “Lokal di sini artinya di seluruh Indonesia. Dengan IIX kita tidak perlu menggunakan satelit untuk mencari data yang terdapat di Indonesia, sehingga menghemat pemakaian bandwith,” lanjutnya. Penghematan bandwith, kata Roy, juga berarti mengurangi pemborosan devisa karena penyedia layanan internet di Indonesia tidak perlu memanfaatkan satelit yang dipunyai negara lain.

****
Boleh jadi, Roy adalah orang yang pertama-tama mengenal internet secara intensif di Salatiga. Ia telah memulai bisnis warung internet (warnet) sejak tahun 1997, sekitar satu tahun setelah internet mulai dikenal di Indonesia. “Waktu itu teknologinya masih mahal dan repot sekali mewujudkannya,“ kenang Roy. Setelah hampir setahun mengandalkan pasokan bandwith dari Yogyakarta sebesar 16 kbps (kilo byte per second), Roy nekat memesan bandwith sendiri dari Indonet Jakarta. Alhasil, akses internet di warnetnya semakin berlimpah dengan aliran 64 kbps. Statusnya pun meningkat menjadi sub-net, bukan lagi sebagai pelanggan saja namun juga distributor layanan Indonet untuk wilayah Salatiga. Saat ini, Roy adalah direktur Indonet Salatiga yang juga membawahi beberapa kota lain di Jawa Tengah.

“Saya hanya punya insting bahwa dunia teknologi informasi akan berkembang pesat di masa mendatang. Segala sesuatu dalam kehidupan ini nantinya akan sangat tergantung pada teknologi, saya yakin itu,” ungkapnya. Berlatar keyakinan itu, Roy berpandangan dalam jangka panjang dunia teknologi informasi cukup menjanjikan dari segi bisnis. “Saya yakin akan ada pelipatan jumlah pemakai internet beberapa tahun mendatang,” ujarnya.  Profesi lamanya sebagai kontraktor sipil pun tak ragu ditanggalkan.

Terpisah dari perspektif bisnisnya, Roy juga meyakini bahwa kunci kemajuan suatu masyarakat terletak pada penguasaan bidang teknologi informasi. “Siapapun yang berkehendak untuk maju, mereka harus memasuki wilayah itu (teknologi informasi-red),” lanjut Roy. Pada saat yang sama ia menilai pemerintah kurang memfasilitasi perkembangan teknologi informasi untuk kemanfaatan publik, terutama bidang pendidikan. Tengara itulah yang kemudian mendorongnya untuk mempromosikan optimalisasi pemakaian internet untuk pengembangan pendidikan. Dan dia memulainya dari dari Salatiga.

***

Selain melalui jaringan pendidikan yang kini mencakup 22 SMP di Salatiga, terobosan fenomenal yang dilakukan Roy adalah mengupayakan jaringan internet di beberapa sekolah komunitas di sekitar Salatiga. Upaya inilah yang kemudian oleh kalangan pemerhati teknologi infomasi disebut sebagai “Salatiga Initiative” yang layak disejajarkan dengan pencapaian terbaik tujuh komunitas lain di dunia yang mampu mengoptimalkan penggunaan internet dan komputer di tengah masyarakat. Penilaian itu dilayangkan oleh Prof. Kenji Saga, seorang peneliti teknologi komunikasi dan informasi dari Jepang, yang juga membangun komunitas serupa di Mitaka, Jepang.

Salatiga Initiative bisa dikatakan sebagai buah dari pemberontakan, terutama terhadap sistem pendidikan yang birokratis, mandeg dan cenderung berpihak pada kalangan yang mampu secara finansial saja. Inisiatif ini adalah hasil perkawinan antara dua gagasan mengenai aksesibilitas. Yang pertama adalah aksesibilitas informasi melalui teknologi internet dan yang kedua adalah aksesibilitas pendidikan melalui sekolah komunitas. Wujud pertamanya menemukan bentuk di SMP Terbuka Qaryah Thayyibah, sebuah sekolah komunitas yang dirintis oleh seorang aktifis paguyuban tani, Bahruddin, di Desa Kalibening, Tingkir, Salatiga, pada pertengahan tahun 2003. Di SMP yang terletak lebih kurang 7 kilometer luar kota Salatiga ini, komputer dan internet bukan barang asing lagi. Bahkan para siswa menjadikan internet sebagai rujukan utama dalam proses belajar mengajar.

“Ini hanyalah upaya kecil yang didasari keprihatinan saya dengan kesenjangan kesempatan pendidikan kita. Kenapa hanya orang kaya dan orang kota saja yang berkesempatan mengenyam pendidikan yang maju dan berkualitas?,” kata Roy dengan nada menggugat.  Padahal, menurut Roy, anak orang-orang miskin dan tinggal di pedesaan pun memiliki potensi yang sama besarnya jika mereka diberi kesempatan untuk mendapatkan akses informasi dan pengetahuan tanpa batas.

Belakangan, Roy pun juga turut merintis sebuah sekolah komunitas di daerah Nglelo, sebuah kampung kecil di lereng gunung Merbabu. Jumlah siswa SLTP Candi Laras, demikian namanya, pada tahun pertama hanya 5 orang, namun kelimanya berhasil menduduki rangking pertama saat ujian nasional di SMP induk. “Saya tidak hanya menyediakan jaringan internet gratis, tapi juga mengajar Matematika di sana,” tambah lulusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang, tahun 1974 ini. Roy ingin menyaksikan sendiri bagaimana perubahan yang dibawa oleh teknologi informasi dan sistem pengajaran baru pada murid-muridnya. “Apakah mereka akan menjadi lebih baik, atau lebih jelek. Karena toh tak dapat diingkari, dibalik manfaatnya internet juga memiliki sisi buruk.”

Lepas dari aliran pengetahuan global yang diperoleh melalui internet, Roy berharap para siswa sekolah-sekolah komunitas berkembang dengan ke-khas-an yang mengarah pada penyelesaian masalah di lingkungannya Sebagai contoh, para siswa di Nglelo diharapkan menjadi ahli-ahli pertanian yang handal yang kelak mengolah lingkungan mereka berdasar pengetahuan yang mereka kembangkan.

“Tujuan saya tidak muluk-muluk, atau ingin terkenal. Saya hanya ingin membuktikan perspektif saya, jika akses pada pendidikan dan pengetahuan dibuat seimbang dan demokratis maka siapapun akan dapat maju. Dan jika pemikiran itu terbukti, saya sudah cukup bangga,” kata Roy.

8 thoughts on “Ir. Roy, Internet dan Pendidikan Demokratis”

  1. saat pendidikan harus dipikul dan menjadi tanggung jawab bersama …
    saat bagi anak-anak indonesia bisa belajar tanpa harus terkekang dengan kbk yang tak tahu juntrungnya ..

    mari bersama, menggali ide, bertindak dengan penuh keyakinan …
    membangun pendidikan indonesia ..

  2. pendidikan adalah proses peningkatan ilmu pengetahuan dan pembentukan kepribadian yang terdidik. seseorang dapat dikatakan berpendidikan jika ia mampu menampilkan karya yang bermanfaat buat orang lain dan kepribadiannya adalah guru bagi yang lainnya. sayangnya pendidikan di Indonesia masih lebih cendrung pada pola mencari legalitas bukan pada kualitas sehingga tidak sedikit dari lembaga penyelenggara pendidikan lebih berorientasi pada pencapaian hasil nilai yang tertera pada lembaran kertas yang lazim disebut ijazah.perlu untuk diingat bahwa ijazah berasal dari bahasa arab yang artinya restu atau izin. dalam pengertian lebih lanjut jika seorang santri yang telah menyelesaikan masa pendidikan di suatu lembaga pensantren dan telah teruji kemampuannya barulah kemuadian sang kyai memberikan ijazah kepada muridnya tersebut untuk terjun kemasyarakat dan berjuang dalam bidang dakwah, tetapi sekarang ijazah sudah menjadi seakan-akan standar dari tingkat kemampuan intlektuan seseorang, jika seorang mahasiswa sudah menyelesaikan proses perkuliannya ia akan diberikan ijazah yang biasa disebut surat tanda tamat belajar, tetapi bagaimana dia kemudian memiliki kemampuan unutk mempertanggungjawabkan nilai dari ijazah tersebut itulah panomenanya yang harus kita jawab. gimana menurt bapak ir

  3. oky juga strategi yang bapak lakukan demi untuk mensosialisasikan pemakaian internet dikalangan dunia pendidikan, tapi apakah anda memiliki artikel yang berkenaan dengan peranan dan manfaat internet dalam kehidupan sehari-hari, tolong dong tampilkan,kita lagi butuh nie.

  4. Seharusnya pengusaha lain ikut memperhatikan nasib penddikan seperti pak roy, sangat riil. Tidak hanya di desa, dikota gejala munculnya kelompok miskin baru juga sudah lama ada. Anak-anak jalanan misalnya butuh perhatian yang lebih akan pendidikan mereka.
    Saya telah melakukan penelitian di Qaryah Thayyibah, salah satu SLTP alternatif dikalibening salatiga. Hasilnya luar biasa, dan memungkinkan sekali untuk dikembangkan dalam pendidikan anak jalanan. Semoga pak roy dan pengusaha lain bisa ikut memikirkan. (Ketua bidang advokasi dan pendidikan Lembaga Pengembangan Masyarakat Mandiri (LPMM) Jawa Tengah)

Leave a reply to widi mutz Cancel reply