Heritage Trail: Wisata Alternatif di Yogyakarta

Setiap tahun ajaran baru sekolah dan musim liburan, kota Yogyakarta, yang kini lebih kerap disebut dengan “nama komersial” Jogja, dibanjiri ribuan wisatawan lokal dan mancanegara. Daya tarik alam dan budaya kota yang berjuluk kota pendidikan, kota perjuangan, kota budaya dan kota gudeg itu kini diperkaya dengan wisata minat khusus heritage trail.

Kota Yogyakarta, jantung Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang masih menjadi salah satu daerah tujuan wisata utama di tanah air. Menurut data yang dilansir oleh dinas pariwisata setempat, disebutkan bahwa propinsi yang memiliki lebih dari 50 atraksi wisata ini menduduki tempat kedua, setelah Bali, sebagai tujuan wisata yang paling disukai. Meski mengalami penurunan yang cukup signifikan akibat pengaruh krisis ekonomi dan aksi terorisme, pada tahun 2002 lalu penginapan dan hotel di Yogyakarta masih dibanjiri tak kurang dari 901.402 wisatawan nusantara dan 30.000-an wisatawan mancanegara.

Lepas dari fakta statistik di atas, banyak pelaku industri wisata di Yogyakarta maupun dari daerah lain, dan juga para wisatawan, mengeluhkan jenis atraksi wisata yang dinilai tidak banyak variasi. Padahal selama ini dunia turisme di Yogyakarta telah menawarkan perpaduan wisata budaya dan alam yang cukup menawan, mulai dari elok pantai-pantai di kawasan selatan, gua-gua di atas pegunungan kapur, eksotika kehidupan tradisional yang bersisian dengan geliat modernitas, pesona artefak-artefak peradaban lampau, sampai sajian ragam seni tradisional dan kontemporer. Tidak ketinggalan juga aneka cita rasa makanan khas. Siapa yang bakal lupa legit bakpia pathuk, manis salak pondoh, atau lezatnya nasi gudeg?

Seakan menanggapi keluhan itu, sejak dua tahun lalu mulai berkembang bentuk wisata alternative untuk memperkaya atraksi bagi wisatawan. Salah satunya adalah “heritage trail” atau wisata minat khusus bernuansa edukatif dengan bentuk penelusuran kawasan cagar budaya. Saat ini, setidaknya telah ada dua paket wisata budaya di Yogyakarta yang dikemas dalam bentuk heritage trail, yakni Jeron Beteng Heritage Trail dan Rambling Through Kotagede.

Jeron Beteng Heritage Trail
Paket wisata ini diluncurkan secara resmi pada bulan Juli tahun 2002 bersamaan dengan gelaran Festival Jeron Beteng. Festival ini menjadi bagian dari kampanye konservasi budaya sepanjang tahun, Jogja Heritage Year (JHY) 2002, yang diprakarsai oleh Forum Jogja, wadah kolabarosi lebih dari dua puluh lembaga dan perseorangan yang memiliki kepedulian pada masalah pelestarian warisan budaya di Yogyakarta. Selama setahun penuh, digelar beragam event yang mengetengahkan aneka pusaka budaya (cultural heritage) yang dimiliki propinsi DIY.

Gagasan paket Jeron Beteng Heritage Trail berlatar pada keprihatinan pegiat konservasi warisan budaya yang menilai potensi wisata budaya di kawasan Jeron Beteng belum terolah secara maksimal. “Selama ini orang hanya mengenal Keraton dan Tamansari saja, padahal ada belasan lokasi lain di Jeron Beteng yang tak kalah menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dialami,” ujar Laretna T. Adhisakti, aktivis Jogja Heritage Society (JHS), salah satu lembaga pendukung JHY 2002. Menurut Bu Sita, panggilan akrab Laretna, kawasan Jeron Beteng menyimpan potensi wisata kelas dunia, asalkan dikelola berdasar konsep yang jelas dan profesional. “Kita bisa mencontoh pengelolaan kawasan historis di Amerika atau Eropa. Misalnya, kota Savannah di Amerika dikelola secara profesional menjadi tujuan wisata berkelas dan eksklusif,” tambah Bu Sita. Namun demikian, dosen Jurusan Arsitektur di Universitas Gadjah mada (UGM) ini menegaskan kata kunci bagi setiap konsep pengelolaan kawasan budaya adalah adanya keterlibatan komunitas setempat.

Jeron beteng –yang dalam bahasa Indonesia berarti “dalam benteng”—adalah sebutan untuk kawasan seluas 139 ha yang berada di selingkar dalam tembok benteng Keraton Yogyakarta. Secara administratif Jeron Beteng termasuk dalam wilayah kecamatan Kraton, yang terbagi atas tiga kalurahan—Kadipaten, Panembahan dan Patehan– dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa. Kawasan yang menjadi cikal-tumbuhnya kota Jogja 250 tahun lalu ini menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa. Wisatawan bisa menyaksikan sejumlah Dalem (rumah pangeran) yang telah berusia ratusan tahun namun masih terpelihara dengan apik, perkampungan tradisional dengan tata ruang dan arsitektur yang khas, pohon-pohon langka dan menyimpan makna, serta aneka pernik aktivitas budaya tradisional yang bersisian akrab dengan budaya kontemporer.

Untuk saat ini, konsep heritage trail di Jeron Beteng adalah penelusuran mandiri. Artinya, wisatawan mengunjungi tujuan-tujuan wisata tanpa pemandu. Untuk itu di lima pintu masuk utama kawasan ini telah disediakan signage berupa peta yang memuat rute dan pilihan lokasi penelusuran. Di waktu mendatang wisatawan dapat meminta guide map dalam bentuk brosur yang berisi informasi serupa atau tim pemandu yang melibatkan komunitas setempat, terutama dari kalangan muda. Pada sampel guide map yang disusun oleh JHS, ada lima paket yang disarankan. Paket pertama membutuhkan waktu tempuh sekitar 8 jam, paket kedua dan ketiga menghabiskan waktu 6 jam. Dua paket terakhir, yang disusun untuk peserta trail anak-anak, diperkirakan memakan waktu rata-rata 3 jam. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, sedangkan untuk lokasi yang relatif jauh dicapai dengan andhong, kereta kuda khas Yogyakarta, yang mudah ditemukan di beberapa titik penghentian. Sejauh ini, Jeron Beteng Heritage Trail sukses diuji-coba sebanyak 9 kali dengan peserta dari kalangan umum, pelajar dan anak-anak.

Selain dua obyek utama, Kraton dan situs Tamansari, Jeron Beteng Heritage Trail juga mencakup beberapa Dalem, rumah tradisional Jawa berusia ratusan tahun milik abdi dalem, Beteng Baluwarti dan beberapa masjid kuno dan unik. Beragam aktivitas masyarakat dapat disaksikan disepanjang jalur trail, misalnya latihan tari di Dalem Kaneman, kursus pedalangan di Keben, industri dan workshop batik di Tamansari, sampai performance art atau pembuatan mural (lukisan dinding) oleh sekelompok seniman masa kini. Di lokasi tertentu, seumpama di pendapa rumah keluarga KRT Kusumabudaya di jalan Siliran Lor, wisatawan bisa memesan hidangan tradisional untuk disantap ditempat. Segelas wedang secang, sepiring kipo atau kue combro tentu meyegarkan dan membantu menghapus rasa pegal di kaki setelah perjalanan yang cukup menyita energi.

Rambling Trough Kotagede
Selain di Jeron Beteng, aktivitas wisata heritage trail juga bisa dilakukan di kawasan Kotagede. Kota kecil yang terkenal dengan kerajinan perak dan makanan khas yangko ini terletak sekitar 8 kilometer arah tenggara kota Yogyakarta. Sisa-sisa keaslian dari beberapa abad silam, peninggalan masa kerajaan Mataram Islam yang berjaya pada abad ke-16, masih bisa ditelusuri jejaknya.

Sejarah Kotagede bermula dari tahun 1586, tatkala dibangun sebagai ibukota Kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senapati. Sewaktu di bawah pemerintahan Sultan Agung, kerajaan ini menoreh sejarah dengan penyerangan besar-besaran ke Batavia untuk mengusir penjajah Belanda. Meskipun tidak berhasil mengenyahkan penjajah, akan tetapi penyerbuan itu tercatat sebagai salah satu bentuk perlawanan terbesar terhadap kepentingan Belanda sepanjang 350 tahun sejarah kolonialismenya di Hindia (Indonesia).

Untuk mengakrabi sisi-sisi historis dan kultural kawasan Kotagede, pengunjung bisa mengikuti paket Rambling Through Kotagede (Telusur Kotagede), sebuah paket wisata budaya yang dikelola oleh Yayasan Kanthil dan Pusat Studi dan Dokumentasi Kotagede (PUSDOK). Tidak seperti halnya paket trail di Jeron Beteng, kegiatan telusur warisan budaya di Kotagede belum memiliki rute khusus. “Kami belum memiliki guide map seperti yang dibuat JHS di Jeron Beteng, jadi rute lebih sering berdasar permintaan peserta,” ujar Shinta Noor Kumala, koordinator Divisi Wisata Yayasan Kanthil. Alhasil, lama paket penelusuran pun rata-rata berkisar antara dua jam saja atau bisa juga sampai seharian penuh.

Menyusuri rute-rute utama, wisatawan biasanya dipandu menuju sebuah jalan lorong selebar enam meter, dengan panjang sekitar seratus meter, yang diapit rumah-rumah penduduk di kiri-kanannya. Masyarakat setempat menyebut lorong ini sebagai “jalan rukunan”, berdasar fungsi sosialnya sebagai lokasi bercampur-gaul para warga dan tempat menggelar ritual dan pesta tradisional. Tapi para pemandu juga menawarkan sebutan yang lain, yaitu “between two gates”, karena lorong ini di kedua ujungnya memang berbatas dua gerbang besar yang salah satunya berangka tahun 1840 M. Suasana sakral dan magis begitu pekat melingkupi kawasan ini. Mungkin karena tata ruang dan atmosfer masa lalu menyungkupi kehidupan kini yang telah bergerak sejauh ratusan tahun tanpa banyak perubahan.

Benteng kuno, yang sebagian besar sudah berupa reruntuhan, menjadi obyek kunjungan berikutnya. Tumpukan batu-bata, yang pada masanya menjadi benteng perlindungan kerajaan Mataram itu, kini berserak tanpa arti. Terlihat beberapa rumah penduduk di sekitar benteng memanfaatkan batu-bata bekas benteng sebagai bahan bangunan. “Kesadaran warga untuk memelihara peninggalan ini memang masih kurang. Barangkali karena belum tahu, ya,” duga Shinta dengan nada prihatin. Perjalanan berikutnya menyusuri lorong-lorong sempit di sesela bangunan tinggi rumah-rumah penduduk. Lorong ini dikenal sebagai Lorong Jagalan, sebuah pola akses antar hunian yang cukup kompleks.

Sembari menyusuri rute Lorong Jagalan, wisatawan ditawari aktivitas yang boleh jadi paling menarik: melongok dapur perajin perak. Sebagai pusat kerajinan perak yang tersohor, Kotagede memiliki puluhan workshop kerajinan perak yang cukup besar. Kebanyakan tempat produksi perak menempati rumah-rumah lama masyarakat Kalang, beberapa diantaranya berusia lebih dari satu abad, yang berukuran besar dan indah arsitekturnya. Masyarakat Kalang konon adalah perajin berkualitas wahid yang dulunya dipekerjakan sebagai perajin di Kraton Yogyakarta, akan tetapi karena persengketaan sosial, kelompok ini “terusir” ke Kotagede dan beranak pinak di sana.

Ujung perjalanan biasanya diakhiri dengan santap siang di sebuah rumah tradisional. Duduk beralas tikar yang digelar di pendapa terbuka, sajian dengan menu tradisional pun terasa lezat untuk disantap. Kadangkala, paket penelusuran ini menambahkan juga sajian kesenian macapatan ( pagelaran tembang dan musik Jawa) atau siteran ( pertunjukan tembang diiringi alat musik tradisional siter).

Dengan mengikuti salah satu paket trail ini, terlebih bila mengikuti keduanya, wisatawan akan memiliki pengetahuan, pengenalan dan apresiasi yang lebih mendalam terhadap Jogja, budaya Jawa dan juga dinamikanya ketika bersua dengan peradaban yang lebih baru. Sebuah perjalanan dengan tawaran pengkayaan ruhani yang tidak banyak bandingannya.

4 thoughts on “Heritage Trail: Wisata Alternatif di Yogyakarta”

  1. halo halo
    salam kenal. Menarik banget nih heritage trailnya. Dimana ya bisa menghubungi Jeron Beteng Heritage Trail ini? Saya pecinta peninggalan sejarah kyk gini soale 🙂

    thanks alot

  2. mohon info kegiatan organisasi anda, semoga bermanfaat bagi kami , selamat dan
    sukses menjadi leader penyelamatan dan pelestarian BCB [heritage] di jogja
    matur nuwun

  3. Arti penting peninggalan sejarah bagi generasi yang akan datang, generasi sekarang, dan yang sudah lansia, agar diungkapkan nilai lebih dari generasi pendahulu dengan segala kekurangan dan kelebihannya, sehingga peninggalan yang ada mau diapakan khususnya untuk kesejahteraan generasi mendatang. Kepedulian pemerintah lewat pemerintah provinsi, kabupaten, kota, dalam bentuk program dan kegiatan untuk melestarikan budaya secara terpadu dan diinformasikan kepada masyarakat.

Leave a reply to putu rocky arcony Cancel reply