Kringgg…Kriingg, Ada Kiriman Uang untuk Sairah…

Lagu-lagu bernuansa tradisional dalam bahasa Sasak—bahasa lokal masyarakat Pulau Lombok–tengah mengalun dari dua speaker kecil yang terpasang di luar bangunan kecil bercat biru di sudut sebuah rumah di Moncok Karya, Pajeruk Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Rimbun dedaunan pohon mangga sedikit menghalangi jendela kaca berukuran besar yang bertuliskan “Radio Komunitas Bragi FM”. Dari ruang di balik jendela itulah aneka lagu yang terdengar melalui speaker—dan juga dipancarkan ke radio-radio milik warga Ampenan—diputar melalui seperangkat komputer.

Sesudah lagu pertama pungkas, Rasidi (43), pendiri sekaligus salah seorang penyiar utama Bragi FM, membacakan request yang dikirimkan lewat SMS. Belum rampung sebaris pesan terbaca, dering telepon menyela. Sejurus kemudian, staf Kantor Informasi dan Komunikasi Daerah (Inkomda) Kabupaten Lombok Barat yang turut aktif membidani kelahiran jaringan radio komunitas di Lombok Barat ini tenggelam dalam perbincangan yang kerap diselingi tawa lepasnya yang khas.

“Dari para pendengar,” jelas Rasidi. “Dulu kami melayani request semacam tadi dengan kartu, tapi kemudian pasang telepon karena banyak fans yang meminta,” imbuhnya. Saat ini, selain melalui SMS, setiap hari tak kurang dari 30 fans—sebutan untuk pendengar–menghubungi nomor telepon radio yang diawaki empat relawan penyiar itu. Penelepon tak hanya berasal dari sekitar studio, namun juga dari beberapa desa yang berkilo-kilometer jauhnya bahkan dari luar negeri!

“Penelepon luar negeri kebanyakan dari Malaysia, dari para TKI (tenaga kerja Indonesia-red) asal Pajeruk yang pernah menjadi pendengar Bragi,” terang Rasidi. Lebih dari sekedar sarana penyampai ungkapan rindu pada keluarga di tanah air, sejumlah TKI memanfaatkan telepon serta siaran Radio Bragi untuk memperlancar pengiriman uang kepada keluarga. Bagaimana caranya?

Dipanggil Lewat Radio
Sebelum pemberangkatan ke negara tujuan, setiap TKI diwajibkan membuka rekening bank dengan tujuan mempermudah pengiriman uang ke kampung halaman. Namun, prosedur perbankan seringkali menyulitkan, bahkan menakutkan, bagi masyarakat yang awam sistem keuangan masa kini. Akibatnya, layanan ini tidak banyak dimanfaatkan oleh TKI. Pos wesel yang banyak dijadikan alternatif sering dikeluhkan karena dinilai lambat dan cara pengambilannya yang birokratis.

“Anak-anak saya dulu mengirim uang lewat wesel, tapi kiriman sampainya lama,” kata Inaq Maunah (50), warga Moncok Karya yang enam anaknya menjadi TKI di Malaysia. Baginya pengurusan pos wesel cukup merepotkan, apalagi ia kini tinggal sendirian bersama dua cucunya yang masih kecil. “Makanya mulai dua tahun lalu anak saya menitipkan uang lewat rekening pak Rasidi, dalam dua atau tiga hari uang sudah bisa diterima,” lanjutnya.

Nomor rekening Rasidi memang cukup populer di kalangan TKI asal Pajeruk yang jumlahnya sekitar 40-an orang di Malaysia. Pasalnya, sejak tahun 1999 Rasidi telah kerap membantu pengurusan uang kiriman dari TKI untuk para tetangga di kanan-kiri rumahnya. “Biasanya si pengirim akan menelepon atau SMS dulu, mengabarkan jumlah uang yang mereka kirimkan melalui rekening saya. Setelah saya cek, baru saya sampaikan kabar ini kepada keluarganya,” tambah Rasidi. Kemudian, wakil keluarga yang bersangkutan menemani Rasidi mengambil uang di bank. Tak jarang, mereka mempercayakan sepenuhnya pengambilan uang kepada Rasidi.

Paska maraknya kasus pemulangan TKI ilegal dari Malaysia di tahun 2004, jumlah pengiriman uang melalui rekening Rasidi bukannya surut tetapi malah bertambah. Seiring aktifitasnya mewakili Inkomda sebagai penyuluh permasalahan TKI, ia banyak mengunjungi rumah-rumah keluarga TKI bermasalah yang kemudian memintanya untuk menguruskan pengiriman uang dari luar negeri. “Alasannya macam-macam. Ada yang mengaku takut mengurus uang di bank, tidak punya alat komunikasi, sampai alasan buta huruf,” ungkapnya. Kini, sekurangnya 20 keluarga mempercayakan pengiriman uang melalui Rasidi.

Kondisi itu, yakni bertambahnya peminta bantuan dan lokasi tempat tinggal yang tersebar berjauhan, mendorong Rasidi untuk mengubah strategi. Alih-alih bertandang langsung ke rumah keluarga penerima kiriman, kabar mengenai kiriman uang ia siarkan melalui radio. “Seringnya saya siarkan berulang-ulang di sela-sela acara favorit, seperti Sasak Lawasan, sekaligus juga disisipi pesan-pesan layanan masyarakat mengenai buruh migran,” ujarnya.

Sejak saat itu, dimulailah lalu lintas pengiriman uang yang unik melibatkan telepon, siaran radio dan rekening bank. Meskipun tidak pernah mendengar gembar-gembor mengenai konvergensi teknologi, yakni menyatunya fungsi-fungsi pelbagai peralatan teknologi ke dalam satu bentuk layanan, Rasidi telah mempraktekkannya tanpa teori.

Penyiasatan aplikatif ini dirasakan sangat membantu keluarga yang mendapat kiriman uang, yakni untuk merasakan pelayanan yang lebih mudah, murah, hemat waktu sekaligus terpercaya. Lebih mudah karena prosedur pengurusannya tidak berbelit dan birokratis, seperti misalnya harus memiliki buku tabungan atau sambungan telepon. Murah karena pemakai jasa tidak lagi mengeluarkan biaya transportasi, biaya administrasi perbankan atau berlangganan telepon, dan hemat waktu karena tidak harus meluangkan waktu untuk pergi ke bank. Yang terakhir, layanan semacam ini terpercaya karena si penghubung (radio/pengelola radio) masih dari kalangan sendiri yang dikenal secara personal.

Bagi Rasidi, permintaan bantuan semacam itu tidak dianggap merepotkan dirinya. “Toh, kiriman dari luar negeri juga tidak sepanjang waktu. Terkadang tiga atau empat bulan baru ada, tetapi kebanyakan setahun sekali bahkan ada yang mengirimkan uangnya sekali saja setelah bekerja di luar negeri selama bertahun-tahun. Biasanya menjelang kepulangan dengan alasan keamanan,” ungkap Rasidi.

Seperti halnya bersiaran melalui radio komunitas, ia menganggap pelayanan pengiriman uang untuk mempererat silaturahmi. Meski demikian, tidak sekali dua kali Rasidi menerima imbalan yang sekedarnya dari penerima uang yang kemudian ia alokasikan untuk menyokong operasional radio komunitas. “Saya tidak pernah minta, tapi kalau diberi juga tidak saya tolak,” ujar Rasidi. Ia menambahkan besar imbalan yang diterima tidak tentu, terkadang malah berupa barang seperti pakaian, biskuit atau barang lain.

Selain waktu pengiriman tidak menentu, jumlah uang yang dikirimkan juga beragam. Sekali waktu ada yang mengirimkan uang hingga Rp 10 juta rupiah, namun sebagian besar jumlah kiriman berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 5 juta rupiah sekali kirim. Menurut pengalaman Rasidi, intensitas pengiriman uang melonjak ketika mendekati hari lebaran Iedul Fitri. “Sebulan atau dua bulan menjelang lebaran, bisa dipastikan setiap pekan ada kiriman uang. Jumlahnya pun berlipat dari hari-hari biasa, setiap minggu rekening saya bisa terisi hingga Rp. 50-an juta,” katanya. Alhasil, iapun lebih harus lebih sering di depan mikrofon untuk mengabarkan adanya kiriman uang.

Konsumtif atau Produktif?
“Untuk memperbaiki rumah,” tandas Sumi (46), penduduk Moncok Karya, menyebutkan peggunaan uang yang dikirimkan oleh dua anaknya yang kini bekerja di Malaysia. “Sebagian lagi untuk keperluan sehari-hari, tapi sempat juga saya pakai untuk membeli tape recorder,” tambahnya malu-malu.

Serupa dengan jawaban Sumi, Inaq Maunah dan Sairah yang tinggal tidak seberapa jauh dari studio Bragi FM juga memanfaatkan kiriman uang dari kerabatnya di luar negeri untuk memperbaiki rumah. “Tapi hanya sebagian saja. Tahun lalu saya ganti gentingnya, sekarang untuk mengganti ubin,” aku Sairah. Menurutnya, sang suami yang bekerja di pabrik kayu lapis di Malaysia Timur memintanya untuk menyisihkan sebagian uang kiriman. “Kalau dia sudah pulang, rencananya untuk mendirikan warung kelontong,” ujar Sairah bersemangat. Ia pun kini telah mempersiapkan lahan di bagian depan rumahnya yang menghadap jalan untuk dijadikan warung.

Berdasar pengamatan Rasidi pola konsumsi keluarga TKI tidak jauh berbeda satu sama lain, sebagian besar uang kiriman dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif seperti membeli kendaraan bermotor, barang-barang elektronik atau handphone model terbaru dan merenovasi rumah.

“Tapi ada juga yang menabung untuk biaya sekolah anak-anaknya, juga untuk modal membeli bemo (mobil angkutan—red),” ungkap Rasidi dengan nada bersyukur. Tak jarang ia memberi masukan pada keluarga TKI agar mempergunakan uang kiriman untuk kebutuhan produktif. “Akhir-akhir ini, saya juga mengajari mereka untuk membuka rekening dan mengambil uang sendiri di bank,” lanjutnya. Alasannya bukan karena ia merasa direpotkan, namun kerapkali keluarga TKI yang memanfaatkan bantuannya juga berkeluh kesah mengenai masalah keluarga.

Kringgggg…kringggg…Nah, setelah Sairah, giliran siapa yang mendapat kiriman uang?

Leave a comment